Cerita Mendaki Gunung Slamet 3428 Mdpl


Mendaki gunung bagi kami adalah suatu hal yang menyenangkan, selain melepas rasa penat dengan aktivitas rutin bekerja sehari-hari. Di gunung kita bisa merasa lebih dekat dengan alam dan juga sang Maha Pencipta Allah S.W.T. Kali ini kami melakoni perjalanan ke sebuah gunung tertinggi di Jawa Tengah.

Gunung Slamet yang memiliki ketinggian 3428 meter diatas permukaan laut (Mdpl)  ini merupakan rajanya gunung Jawa Tengah, salah satu impian kami dari kecil adalah bisa sampai ke puncaknya   Bagaimana tidak, gunung Slamet ini lokasinya ada di beberapa  kabupaten, salah satunya Kabupaten Purbalingga, yang mana Purbalingga ini deket sekali sama Wonosobo, dan Wonosobo adalah kota kelahiran kami.

Kalau dilihat dari tempat kami berteduh, gunung Slamet  ada di depan mata selama 17 tahun kami hidup di kampung. Akan tetapi, belum pernah sekalipun kami manjat gunung ini. Untuk menghilangkan rasa penesaran, maka kami memutuskan untuk memanjat gunung Slamet.

Hingga akhirnya, cita-cita kami terwujud juga di akhir awal Oktober kemarin.
Kali ini kami mendaki  hanya bertiga bareng sama temen saya yang bernama Adit dan Jarwo, ternyata di basecamp bertume dua orang pendaki asal Jogja yang bernama bang Ibnu dan satunya kami lupa namanya, hahaha namuanya juga manusia. Yang namanya manjat sama mereka, hampir dipastikan dari awal sampai akhir ada aja dramanya, namun disini tidak  mau cerita drama itu, biarkan itu semua menjadi rahasia kita, lagian nanti ceritanya tambah kepanjangan.

Nah kita cerita  langsung dari basecamp Bambangan di Purbalingga. Sampai disana langsung bertemu banyak banget orang, saya langsung lemes danan males. Ternyata gunung Slamet sudah serame Gunung prau Dieng, ini mungkin efek karena baru dibuka.

Usai persiapan, daftar  Simaksi, meli makanan buat di perjalanan, akhirnya, kami bisa menjejakkan langkah ke Gunung Slamet. Dalam hari  merasa, ini gunung bakalan keren banget!

Jalur pendakian awal didominasi ladang penduduk, banyak banget sayur mayuran kanan kiri jalan. Bahkan ada tomat merah-merah menjuntai dari rantingnya, goyang-goyang terkena sapuan lembut angin.

Lupakan tomat dan sayuran tadi. Saatnya melangkah lagi dengan penuh semangat. Semakin ke atas, jalur pendakian gunung Slamet dibilang makin sialan. Ini gunung beneran tidak punya belas kasihan. Dari awal, kami sudah manjat ada kali 45 derajat Intinya bikin pinggang lecet. Padahal belum sampe pos satu. Yang paling kami benci lagi adalah debunya tebel banget.

Sesampai di pos 1, ada warung gorengan, semangka, kopi,  camilan, semua ada. Jangan sedih, pedagang ini akan terus ada bahkan sampai pos 5. pokokna Dimana ada kerumunan, di sana ada pedagang. Yah, mau gimana lagi, namanya juga cari nafkah. Mungkin yang kami sebel adalah, dengan adanya pedagang-pedangang ini, gunung jadi gak begitu menantang lagi. Juga sampah ada dimana-mana sampah ini memang selalu jadi momok yang menyebalkan.

Tentang jalur tidak ada ampun banget dari bawah sampe atas semua hampir sama nanjaknya. Di gunung Slamet kita bener-bener mendaki. Tanpa ampun, dari basecamp sampe pos 1 kita hitung sejam lebih. Pos 1 sampe pos 2 bisa dua jam. Pos 2 sampe pos 3 bisa sejam lebih. Pos 3 sampe pos 4 mungkin cuma setengah jam. Pos 4 sampe pos lima juga cuma setengah jam.

kami yang lebih banyak berhenti baru sampe pos 4 aja jam 4 sore. Padahal jalan dari basecamp jam 10 pagi. Perkiraan bisa sampai pos 5 seharusnya jam 5 sore. Tapi apa daya, jalur pendakian, debu yang terbang kemana-mana, sama ritme jalan  bikin waktu mulur jadi lumayan lama.

Waktu sampai di Pos 4 alias Samarantu alias pos terkenal dengan angkernya ini, kami udah lelah, kepayahan. Rasanya sudah ingin nyerah aja dan mau ngecamp di sini, karena sebenernya pos yang ideal banget buat nancapkan tenda. Karena ingat akan mistisnya ini gunung masih kentel banget, dan pos 4 Samarantu ini merupakan pusatnya, jadi kami putuskan lanjut naik mencari lokasi lain.

Akhirnya kami jalan terus dan nemu pos 5 ternyata sudah penuh, akhirnya ngesot lagi nyampe pos 6, eh ternyata penuh juga. Terpaksa kami jalan lagi menuju pos 7 ahirnya kami dapet tempat kemping tepat diatas pos 7 ditempat yang lumayan bagus.

Meskipun sepanjang pendakian panas sekali dan berkeringat basah, sampe malem pun masih terasa panas, tetapi begitu ngecamp jadi dingin menggigil banget. Alhasil kami hanya langsung mapan tidur ngelingker pake baju dobel, sleeping bag, dan kaos kaki dobel.

Pendakian kami lanjutkan jam setengah empar pagi. Menuju puncak. Tanpa bawa apa-apa kecuali kamera, makanan, dan minuman. Karena kami lagi pengen banget ngeliat sunrise, ane harus lebih buru-buru manjat.

Pendakian seakan tanpa henti ini ane lanjutkan. Makin ke atas makin kacau jalanannya. Kacau pertama, karena memang  jalurnya nanjak abis. Kacau kedua, tenda dibangun dimana-mana, pas di pos 8 saja kami harus muter-muter mencari jalan karena tenda dipatok di tengah-tengah jalur. Kacau ketiga, banyak banget api unggun. Menang dingin, dingin banget, tapi api unggun inilah perkara utama kebakaran di tengah-tengah musim kering yang melanda gunung-gunung. Aah, semoga mereka yang buat api unggun  tidak lupa matikan apinya.

Melanjutkan mendaki. Tau-tau kami sudah sampe di lokasi pendakian penuh bebatuana yang kelihatanya mudah rontok. Pokoknya jalur  sudah nanjak sekali. Artinya, ini kami sudah mau sampai puncak. Tapi dibelakang kami udah muncul semburat cahaya sunrise dan kami segera sampai ke puncak sebelum kehabisan moment.


Yuk lanjut Baca juga : Tips Mendaki Gunung Slamet Saat Musim Hujan