Cerita Kesederhanaan Keluarga Bahagia

cerita keluarga bahagia
 

Sore itu, di pantai dengan pasir putih yan halus menyentuh telapak kaki, kita akan sama-sama menikmati indahnya langit yang berubah warna. Mungkin sembari berjalan dan bergandengan tangan atau duduk-duduk saja dengan kepala bersandar di bahumu.

Bahu yang kuat menopang aku, tangan kasar berkapal yang sesekali membelai wajahku. Dan senyum manismu yang selalu tersaji saat kau diam-diam memperhatikan aku.

Suatu malam, kita akan pulang dengan motor bututmu yang telah aku hapal dengan asap-asapnya. Perutmu yang seperti tahu bulat digoreng dadakan itu akan menjadi tempat ternyaman telapak tangan ini berpegangan. Memelukmu dari jok belakang, sesekali tanganmu menggenggam tanganku memastikan tanganku tidak kedinginan.

Lalu sepanjang jalan aku akan bercerita banyak hal lagi dan kau akan tertawa atau sekedar berteriak “ha, apaaa?

Sampai rumah, sesaat setelah kau tandaskan standar motor bututmu itu, lalu kau masuk dengan sandal jepit yang tak kau taruh di rak samping pintu depan. Seperti biasa aku akan berteriak dengan lengkinganku yang khas “ Maaasss, sendaleee benahiii!!!”, lalu pasti kau akan berbalik dengan cengar cengir dan garukan dibelakang kepala sambil membenahi sandal yang telah kau pakai.

Kita akan berbincang di ruang tengah yang ada tvnya, sambil menyantap bakso yang tadi kita beli di pinggir jalan dengan sambal yang ketinggalan. Dan aku akan memaki pedagangnya, kau hanya tersenyum dan bersabar mendengarkan dengan khidmat layaknya menyimak khotbah. Mungkin yang ada dalam pikiranmu “marah kok di rumah, itu lho kalau berani langsung di depan penjualnya”.

Setelah perut kita sama-sama kenyang, dan cacing-cacing tidak merengek minta makan lagi, kita akan pingsut kalau tidak gulat jempol untuk menentukan siapa yang mencuci mangkuk bekas bakso tadi, tapi na asnya aku yang selalu kalah. Tapi aku tau kau baik dan mencintaiku. Itu sebabnya kau tak pernah merasa keberatan membantuku, meski sekedar menemani aku dengan memelukku dari belakang, atau tetap mengobrol meskipun aku di dapur dan kau sudah masuk kamar.

Saat aku lihat kau sudah tertidur pulas memeluk bantal guling yang biasanya aku peluk. Itu yang aku sesalkan dari akibat bermain pingsut atau gulat jempol. Gulingku dirampas olehmu, dan aku selalu merasa tak tega untuk mengmbilnya. Jadi, aku mengalah dan memilih memelukmu saja. Mengucapkan selamat malam di telingamu dan kau ternyata belum benar-benar tertidur, soalnya senyum tipismu kelihatan.

"Sial aku tertipu, tapi tetap saja aku tak tega".

Pagi-pagi pasti seisi rumah penuh teriakan. Ah, rutinitas kita selalu sama. Mungkin kita harus merencanakan untuk membuat kamar mandi satu lagi atau merenovasi kamar mandi kesayangan kita dengan menambah closet. Mungkin berdampingan atau berhadapan asal jangan membelakangi, karna aku makmum nanti kau malah berceloteh imam di depan makmumnya. Sudah pasti, ah sudah kutebak jalan pikiranmu.

Saat aku berteriak “Maaas ambil baju diangkat tahh masak ditarik terus, sudah dibilangin tidak ngerti-ngerti” itu tandanya suamiku sembarangan ambil baju dari lemari. Aku lho sudah susah payah nyetrika bajumu, tak tata rapi, bola-bali bola-bali aku kasih tau kalau ambil baju diangkat jangan ditarik ya Mas, apa susahnya siii!!! Kok ya nggak didengerin blas. Itu kalimat sering aku lontarkan ketika dia mengambil baju sendiri di lemari.

Ah mungkin laki-laki semuanya memang sama, paling susah kalua urusan ambil baju di lemari. Tapi aku tau, kau selalu meminta maaf dan membantuku merapikannya lagi. Kau selalu begitu, lalu pulang kerja kau akan membawakan aku martabak telur yang dijual di simpang jalan. Kau memang kadang menyebalkan tapi aku mencintaimu, dan setelah bersamamu aku tau bawha mencintai tidak sesedarhana yang dulu aku bayangkan…

Selesai…